Senin, 22 Oktober 2012

TUGAS TAMBAHAN MIGGU KE-2 (ETIKA PROFESI AKUNTANSI)

NAMA           : HERLINA SARI
NPM   : 25209341
KELAS          : 4 EB 13


TAWURAN PELAJAR MEMPRIHATINKAN DUNIA PENDIDIKAN


Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.

PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR

Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.

TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR

Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1.      Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2.      Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.      Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4.      Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
SUMBER :


PENDAPAT SAYA MENGENAI KASUS DI ATAS :
             
Menurut saya orang yang senang tawuran atau berkelahi itu merupakan orang-orang yang kurang mendapatkan pendidikan moral atau etika, baik dari lingkungan keluarga, pendidikan ataupun lingkungan mereka tinggal dan beradaptasi. Mereka berpendapat bahwa dengan berkelahi, semua masalah yang mereka hadapi akn segera terselesaikan. Pemahaman yang seperti inilah yang membuat mereka mengenyampingkan nili-nilai etika yang berlaku di masyarakat. Mereka tawuran hanya memikirkan emosi mereka semata tanpa memikirkan akibatnya ke depan nanti. Tawuran menimbulkan banyak kerugian bagi banyak pihak. Diantaranya yaitu :
·         pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas
·         rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan
·         terganggunya proses belajar di sekolah
·         berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain
dari berita-berita yang saya lihat di televisi, salah satu penyebab timbulnya tawuran antar para pelajar yaitu dendam para pelajar antar sekolah yang sudah tertanam pada setiap angkatan pelajar selama bertahun-tahun. Para pelajar  berkelahi karena sudah menjadi tradisi dari para senior mereka yang terdahulu, sehingga mengharuskan mereka untuk berkelahi apabila terdapat sedikit masalah dengan lawan sekolah mereka.
            Saran saya sebaiknya penanaman nilai etika yang baik bagi para anak, harus dimulai dari ruang lingkup yang kecil, yaitu keluarga. Para orang tua harus memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya dan mengajarkan tentang perilaku yang baik dalam bergaul. Dunia pendidikan juga sangat berperan penting dalam menanamkan nilai etika. Sekolah terlebih dahulu harus meningkatkan kualitas pengajarannya dengan menciptakan lingkungan sekolah yang tidak hanya berfokus belajar dengan kurikulum mata pelajran yang diwajibkan oleh pemerintah, tetapi juga membangun suasanakelas yang tidak monoton mungkin dengan meangadakan kegiatan diluar sekolah yang mengandung nilai pendidikan dan dapat menanamkan nilai etika yang baik bagi para pelajar, meningkatkan fasilitas praktikum, dan sebagainya. Dan lingkungan tempat tinggal kita juga menjadi salah 1 faktor penting untuk menanamkan nilai etika dan moral yang baik, mungkin salah 1 caranya yaitu dengan sering mengadakan kegiatan remaja dan kegiatan bakti sosial yang dapat menciptakan rasa kebersamaan dan kekeluargaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar