NAMA : HERLINA SARI
NPM : 25209341
KELAS : 4 EB 13
TAWURAN PELAJAR
MEMPRIHATINKAN DUNIA PENDIDIKAN
Perkelahian,
atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan
bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke
kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada
remaja.
Di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering
terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus
dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban
meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus
yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban
meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah
perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu
hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
PANDANGAN UMUM TERHADAP
PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering
dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari
keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini.
Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah
sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan
ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara
ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang
memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang
dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal
penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar,
masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis,
juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya),
serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara
psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai
salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja,
dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu
situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi
karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu
biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu
berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma
dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi.
Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh
kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI
PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam
pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan
di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat)
dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila
dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja
terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor
internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi
pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya
keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari
lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya
menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat
melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap
masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik
batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan
orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
2. Faktor
keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada
anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar
bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar
kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu
melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak
mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung
dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap
kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor
sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus
mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai
dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak
merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar
sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana
guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan
sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang
sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam
“mendidik” siswanya.
4. Faktor
lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja
alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan
rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk
(misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering
menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk
munculnya perilaku berkelahi.
SUMBER :
http://kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan.html
PENDAPAT SAYA
MENGENAI KASUS DI ATAS :
Menurut saya orang yang senang tawuran atau berkelahi itu
merupakan orang-orang yang kurang mendapatkan pendidikan moral atau etika, baik
dari lingkungan keluarga, pendidikan ataupun lingkungan mereka tinggal dan
beradaptasi. Mereka berpendapat bahwa dengan berkelahi, semua masalah yang mereka
hadapi akn segera terselesaikan. Pemahaman yang seperti inilah yang membuat
mereka mengenyampingkan nili-nilai etika yang berlaku di masyarakat. Mereka
tawuran hanya memikirkan emosi mereka semata tanpa memikirkan akibatnya ke depan
nanti. Tawuran menimbulkan banyak kerugian bagi banyak pihak. Diantaranya yaitu
:
·
pelajar (dan
keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif
pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas
·
rusaknya fasilitas umum
seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca
toko dan kendaraan
·
terganggunya proses
belajar di sekolah
·
berkurangnya
penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang
lain
dari
berita-berita yang saya lihat di televisi, salah satu penyebab timbulnya
tawuran antar para pelajar yaitu dendam para pelajar antar sekolah yang sudah
tertanam pada setiap angkatan pelajar selama bertahun-tahun. Para pelajar berkelahi karena sudah menjadi tradisi dari
para senior mereka yang terdahulu, sehingga mengharuskan mereka untuk berkelahi
apabila terdapat sedikit masalah dengan lawan sekolah mereka.
Saran saya sebaiknya penanaman nilai
etika yang baik bagi para anak, harus dimulai dari ruang lingkup yang kecil,
yaitu keluarga. Para orang tua harus memberikan perhatian lebih kepada
anak-anaknya dan mengajarkan tentang perilaku yang baik dalam bergaul. Dunia
pendidikan juga sangat berperan penting dalam menanamkan nilai etika. Sekolah
terlebih dahulu harus meningkatkan kualitas pengajarannya dengan menciptakan
lingkungan sekolah yang tidak hanya berfokus belajar dengan kurikulum mata
pelajran yang diwajibkan oleh pemerintah, tetapi juga membangun suasanakelas
yang tidak monoton mungkin dengan meangadakan kegiatan diluar sekolah yang
mengandung nilai pendidikan dan dapat menanamkan nilai etika yang baik bagi
para pelajar, meningkatkan fasilitas praktikum, dan sebagainya. Dan lingkungan
tempat tinggal kita juga menjadi salah 1 faktor penting untuk menanamkan nilai
etika dan moral yang baik, mungkin salah 1 caranya yaitu dengan sering
mengadakan kegiatan remaja dan kegiatan bakti sosial yang dapat menciptakan
rasa kebersamaan dan kekeluargaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar